Friday, January 8, 2010
Mengapa Perempuan Suka Difoto Telanjang?
THIS CORRESPONDENCE CONTAINS CONFIDENTIAL INFORMATION OF KEMET ELECTRONICS CORPORATION AND ITS AFFILIATED COMPANIES. If you have received this e-mail and it was not intended for you, please let us know, and then delete it. We thank you for treating our confidential information in a courteous and professional manner.
DISCLAIMER: Although we have taken reasonable steps to reduce risks against viruses, the reliability of this method of communication cannot be guaranteed. It can be intercepted, corrupted, or delayed, or it may arrive incomplete, contain viruses, or be affected by other interference.� The opening of any attachments to this e-mail indicates your agreement to hold us harmless and release us from liability for any damage sustained as a result of this transmission.
Labels:
FYI
Thursday, January 7, 2010
BERPIKIR POSITIF SAJA NGGAK CUKUP!
Kamu pasti pernah mendengar tentang pentingnya berpikir positif. Bahkan mungkin, hampir semua umat manusia yang hidup di abad ini pernah mendengarnya. Dan menerapkannya. Dan memetik keuntungan darinya. Yup. Berpikir positif memang baik. Penting dan bermanfaat, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain, demikian dikatakan oleh para ahli. Sayangnya, berpikir positif pun mempunyai sisi lemah yang dapat merusak keseimbangan hidup kita. Hidup adalah sebuah keseimbangan. Selalu ada sisi bertentangan untuk setiap bidang kehidupan. Kerja keras yang tak diimbangi istirahat yang cukup bisa berakibat fatal. Makanan enak tanpa diimbangi olahraga mengakibatkan banyak orang mati sebelum waktunya. Gaya hidup mewah tanpa diimbangi filosofi hidup hemat membuat kita bangkrut. Bahkan cinta tanpa disiplin akan menghasilkan anak-anak yang manja dan suka memberontak. Semua bidang menuntut keseimbangan dalam hidup kita! Jika kamu menganggap berpikir positif adalah segalanya, kamu perlu mempertimbangkannya kembali. Berpikir positif menuntut kita memandang segalanya dari sisi positif. Namun bagaimana dengan sisi negatifnya? Apakah kita lantas bisa mengabaikannya? Berikut ada 7 hal lain yang perlu kita pertimbangkan selain berpikir positif.. 1. Berpikir benar Sejujurnya, agak susah menjabarkan tentang berpikir benar, karena kebenaran di jaman ini telah bergeser nilainya. Kebenaran selalu bersifat relatif, tergantung siapa yang memandang. Kita bisa bicara dengan dua orang yang bermusuhan dan masing-masing akan mengatakan diri mereka benar, lengkap dengan segala penjelasan mendetail tentang kisah menurut versi mereka. Kamu perlu mengikuti kata hatimu dalam hal ini. Definisikan apa yang benar sesuai dengan nilai-nilai dalam hidupmu. Jika 'benar' dalam lingkunganmu berarti mengurangi hak orang, kamu tahu apa artinya. Jika benar berarti membela yang bayar, memanjat ke atas dengan menginjak leher orang, menjatuhkan orang lain dengan segala cara, atau hal-hal semacam itu, kamu harus memutuskan apa yang akan kamu lakukan. Jika perlu, keluar dari sana dan cari lingkungan yang bisa membuatmu bertumbuh jadi lebih baik! 2. Berpikir mulia Apa komentarmu ketika melihat orang mengucapkan kata-kata kasar yang tak sepantasnya diucapkan? Biasanya sih, dengan heran dan takjubnya kita akan mengatakan 'Duh, penampilannya keren, jabatannya oke tapi mulutnya kok nggak berpendidikan ya..'. Rupanya, pendidikan itu mempengaruhi kelakuan seseorang. Diharapkan, dengan semakin terdidiknya seseorang, akan semakin tinggi pula martabat dan sikap moralnya. Namun dalam kenyataannya, tidaklah selalu demikian. Banyak orang mengaku berpendidikan, namun sikap mereka menyatakan sebaliknya. Ternyata, karakter jauh lebih penting daripada pendidikan. Kamu bisa mencari ilmu sampai ke ujung dunia, tapi tanpa karakter dan nilai-nilai yang baik dalam hidup, kamu akan tetap diragukan orang. Kamu tidak semata dinilai dari tampilan atau rupa, atau berapa deret nol yang tertera di buku tabunganmu, tapi karakter dan integritasmu menentukan penghargaan orang terhadap dirimu yang sesungguhnya. Jangan hanya berpikir positif, berpikirlah mulia. 3. Berpikir adil Sahabatmu nyata-nyata bersalah, sementara orang yang kamu musuhi ternyata benar. Siapa yang akan kamu bela? Akankah kamu tetap mengatakan 'Hidup persahabatan!' dan menelantarkan nilai-nilai pribadimu? Keadilan mungkin tidak berpihak bagi banyak orang sementara ini. Namun itu bukan alasan bagi kita untuk tidak bersikap adil. Kejarlah keadilan. Berikan pada tiap orang apa yang menjadi haknya. Bersikaplah adil walaupun hidup tampaknya tidak adil bagimu, karena selama bumi ini ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai. Apapun yang kamu tabur akan kamu tuai. Ini adalah hukum alam yang tak dapat dibatalkan, jadi kamu perlu menetapkan bagi dirimu untuk selalu berpikir, berkata dan berbuat adil. Berpikir adil juga menuntutmu untuk menempatkan diri dalam perspektif yang tepat. Jangan hanya berpikir positif. Berpikir jugalah dengan kewaspadaan. Jangan menerima segala sesuatu sebagaimana adanya (mentah-mentah), karena seringnya, yang tampak bukanlah yang sebenarnya. Orang yang hanya berpikir positif (tanpa kewaspadaan dan kebijaksanaan) akan mudah dibohongi. Pikirkan juga kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi sebelum kamu mengambil keputusan. Mungkin niatmu baik. Tapi tidak demikian halnya dengan banyak orang lain di sekitarmu. Sangat perlu untuk menguji setiap kalimat atau tindakan atau sikap yang diarahkan pada kita. 4. Berpikir suci Pacarmu mengajakmu begituan dan kamu tidak tahu apa yang harus kamu lakukan. Kamu pikir, berpikir positif bisa membantumu memecahkan masalah. Tunggu dulu. Berpikir positif? Positif bagi siapa? Bagi kamu? Bagi dia? Bagi hubungan cinta kalian? Lalu bagaimana dengan masa depanmu? Calon pasangan hidupmu? Orang tuamu? Integritasmu? Dalam hal ini, berpikir suci sepertinya lebih penting ketimbang 'berpikir positif', teman.. 5. Memikirkan yang manis (menyenangkan) Prinsipnya, jika sesuatu tidak menyenangkan bagi semua pihak, maka jangan pikirkan atau lakukan hal itu. Buang semua hal buruk dari pikiran, hati dan jiwamu. Lakukan detoksifikasi dalam batinmu. Suatu saat, kamu akan berterima kasih pada dirimu sendiri karena telah melakukannya. Kamu akan menjadi lebih sehat, lebih bahagia, dan lebih sejahtera karenanya (ingat prinsip hukum ketertarikan?). Apapun yang kamu pilih untuk tinggal dalam pikiranmu, akan memenuhi hidupmu, dan itulah yang menjadi takdirmu. Kita sendiri yang menentukan takdir kita, kawan. Kita juga yang menentukan bagaimana kita akan mengisi dan menjalani hidup yang telah Tuhan berikan pada kita! 6. Berpikir kreatif Jika kamu menganggap hidup telah memperlakukanmu dengan tidak adil, pikirkan sebaliknya. Apa yang akan terjadi jika pengalaman buruk tak terjadi padamu? Akankah hidupmu berbeda? Akankah kamu menjadi pribadi yang lebih baik? Akankah kamu berkembang? Kadangkala, butuh pemikiran yang kreatif dan luas untuk memahami segala yang terjadi dalam hidup. Jangan pernah menyalahkan diri atau keadaan, tapi belajarlah darinya. Kamu adalah murid yang harus terus belajar dan diuji di sekolah kehidupan agar naik tingkat, bukannya korban yang selalu menangis dan meratapi nasib. Kamu takkan belajar apapun dari tangisan dan keluh kesahmu. Jika ada berita yang perlu didengar tentang kamu, maka berita itu hendaklah sesuatu yang sedap didengar, yang timbul sebagai hasil pikiran kreatifmu yang bermanifestasi dalam seluruh tindakan dan perkataanmu. 7. Berpikir luar biasa Sudah menjadi kecenderungan kita untuk berpikir standar. Jika sebuah ide ditolak, biasanya kita akan mundur dan mencari cara yang tepat agar ide tersebut lebih diterima. Padahal, menurut pepatah, jika ide Anda dipuji orang, biasanya ide itu biasa saja dan tidak istimewa. Jika ide Anda ditertawakan orang, biasanya ide itu ide yang luar biasa. Jangan takut berpikir luar biasa. Orang lain menertawakanmu dan menganggapmu pemimpi? Bangunlah. Buat impianmu jadi kenyataan. Orang lain mengatakan tidak mungkin? Jadikan itu tantangan. Orang lain katakan idemu gila? Tantang dirimu untuk mencobanya. Apapun yang kamu anggap bisa lakukan, kamu bisa melakukannya. Luaskan imajinasimu. Berkembanglah. Langit adalah batas kreativitasmu. Tuhan yang Maha Kreatif telah menaruh jejak keberadaanNya dalam diri kita dengan menempatkan pikiran yang tak terbatas dalam otak kita yang luar biasa. Pergunakanlah karuniaNya dengan maksimal. Berpikirlah luar biasa! Ini bukan sanggahan dari teori berpikir positif yang terkenal itu. Hanya saja, selain berpikir positif, kita juga perlu lebih awas dan lebih bijaksana dalam menyikapi segala sesuatu yang terjadi. Seperti kata peribahasa 'Hendaklah kamu tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular..'. Tanpa memikirkan segala kemungkinan dan sisi negatifnya, perencanaan yang terbaik pun dapat gagal. Hidup adalah sebuah keseimbangan, bukan? |
Labels:
Renungan
Wednesday, January 6, 2010
Fakta Di Balik Daging Babi Yang Belum Anda Ketahui
Sebelum Anda berpusing-pusing ria mendalami artikel “bahaya babi blah blah blah” ini, cobalah kalau bisa, Anda mengadakan eksperimen kecil tentang bahaya daging babi di rumah. Di YouTube, Anda bisa menemukan seabrek-abrek video eksperimen ini (eksperimennya sama) dengan mengetik kata kunci di kotak Search : “why muslim don’t eat pork”. Eksperimennya sangat mudah dan sederhana :
1. Daging babi ditaruh di atas loyang, lalu dituangi Coca Cola sampai terendam benar (kebetulan daging babi di gambar adalah daging asal supermarket)
2. Biarkan selama 2 jam di suhu ruang
3. Anda akan melihat banyaknya cacing yang menggeliat-geliat muncul dari dalam daging babi itu.
Gambar satu lagi di bawah ini adalah yang terekam sebuah kamera khusus mengenai keadaan daging babi masak saat masuk ke lambung manusia. Pada foto ditunjukkan cacing-cacing yang langsung keluar dari daging babi masak (yang berwarna pink itu) dan beramai-ramai merayapi dinding-dinding lambung. Cairan hijau pada foto di bawahnya lagi adalah asam lambung. Ironisnya, asam lambung (yang bertugas membunuh bakteri yang masuk bersama makanan), nampaknya tidak berpengaruh banyak terhadap cacing-cacing yang merayap ini.
sumber: http://haxims.blogspot.com
1. Daging babi ditaruh di atas loyang, lalu dituangi Coca Cola sampai terendam benar (kebetulan daging babi di gambar adalah daging asal supermarket)
2. Biarkan selama 2 jam di suhu ruang
3. Anda akan melihat banyaknya cacing yang menggeliat-geliat muncul dari dalam daging babi itu.
Gambar satu lagi di bawah ini adalah yang terekam sebuah kamera khusus mengenai keadaan daging babi masak saat masuk ke lambung manusia. Pada foto ditunjukkan cacing-cacing yang langsung keluar dari daging babi masak (yang berwarna pink itu) dan beramai-ramai merayapi dinding-dinding lambung. Cairan hijau pada foto di bawahnya lagi adalah asam lambung. Ironisnya, asam lambung (yang bertugas membunuh bakteri yang masuk bersama makanan), nampaknya tidak berpengaruh banyak terhadap cacing-cacing yang merayap ini.
sumber: http://haxims.blogspot.com
Labels:
FYI
Perbedaan Persepsi
Beda persepsi dalam kehidupan sehari-hari sepertinya bukan hal yang aneh dan lumrah terjadi.
Ada seorang ayah yang menjelang ajalnya di hadapan sang Istri berpesan DUA hal kepada 2 (dua) anak laki-lakinya :
- Pertama : Jangan pernah menagih hutang kepada orang yg berhutang kepadamu.
- Kedua : Jika pergi ke toko jangan sampai mukamu terkena sinar matahari.
Waktu berjalan terus. Dan kenyataan yang terjadi adalah bahwa beberapa tahun setelah ayahnya meninggal anak yang sulung bertambah kaya sedang yang bungsu menjadi semakin miskin.
Melihat hal itu, sang Ibu pun mulai bingung dan curiga. Apa sebenarnya yang sedang terjadi kepada kedua anaknya. Akhirnya sang Ibu pun bertanya kepada mereka:
Jawab anak yang bungsu :
"Ini karena saya mengikuti pesan ayah. Ayah berpesan bahwa saya tidak boleh menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadaku, akibatnya modalku susut. Karena orang yang berhutang kepadaku tidak membayar sementara aku tidak boleh menagih".
"Juga Ayah berpesan supaya kalau saya pergi atau pulang dari rumah ke toko dan sebaliknya tidak boleh terkena sinar matahari. Akibatnya saya harus naik becak atau andong, padahal sebetulnya saya bisa berjalan kaki saja, tetapi karena pesan ayah itu, akibatnya pengeluaranku bertambah banyak".
Kepada anak yang sulung yang bertambah kaya, sang Ibu pun bertanya hal yang sama. Jawab anak yang sulung :
"Ini semua adalah karena saya mentaati pesan ayah. Karena Ayah berpesan supaya saya tidak menagih kepada orang yang berhutang kepada saya, maka saya tidak pernah menghutangkan kepada orang lain sehingga dengan demikian modal tidak susut".
"Juga Ayah berpesan agar supaya jika saya berangkat ke toko atau pulang dari toko tidak boleh terkena sinar matahari, maka saya berangkat ke toko sebelum matahari terbit dan pulang sesudah matahari terbenam.
Karenanya toko saya buka sebelum toko lain buka, dan tutup jauh sesudah toko yang lain tutup." "Sehingga karena kebiasaan itu, orang menjadi tahu dan tokoku menjadi laris, karena mempunyai jam kerja lebih lama".
MORAL CERITA :
Kisah diatas menunjukkan bagaimana sebuah kalimat yang sama tapi di tanggapi dengan presepsi yang berbeda akan menghasilkan output yang berbeda pula. Jika kita menanggapinya dengan positif, maka keberhasilan, kesuksesan dan tercapai tujuan yang kita inginkan akan mudah kita raih.
Tetapi bila kita melihatnya dari sisi yang lain (yang negatif), maka kita bisa juga terhanyut dengan adanya kesulitan meraih apa yang kita inginkan. Karena kita sudah terlanjur mengartikan sebuah opini dalam persepsi negatif kita.
Coba anda lihat gambar gajah di bawah, menurut anda gajah mana yg paling besar?
See? begitu mudahnya persepsi kita keliru?atau dgn kata lain satu org dgn org lainnya kan mempunyai persepsi yang berbeda.thats life.....
Ada seorang ayah yang menjelang ajalnya di hadapan sang Istri berpesan DUA hal kepada 2 (dua) anak laki-lakinya :
- Pertama : Jangan pernah menagih hutang kepada orang yg berhutang kepadamu.
- Kedua : Jika pergi ke toko jangan sampai mukamu terkena sinar matahari.
Waktu berjalan terus. Dan kenyataan yang terjadi adalah bahwa beberapa tahun setelah ayahnya meninggal anak yang sulung bertambah kaya sedang yang bungsu menjadi semakin miskin.
Melihat hal itu, sang Ibu pun mulai bingung dan curiga. Apa sebenarnya yang sedang terjadi kepada kedua anaknya. Akhirnya sang Ibu pun bertanya kepada mereka:
Jawab anak yang bungsu :
"Ini karena saya mengikuti pesan ayah. Ayah berpesan bahwa saya tidak boleh menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadaku, akibatnya modalku susut. Karena orang yang berhutang kepadaku tidak membayar sementara aku tidak boleh menagih".
"Juga Ayah berpesan supaya kalau saya pergi atau pulang dari rumah ke toko dan sebaliknya tidak boleh terkena sinar matahari. Akibatnya saya harus naik becak atau andong, padahal sebetulnya saya bisa berjalan kaki saja, tetapi karena pesan ayah itu, akibatnya pengeluaranku bertambah banyak".
Kepada anak yang sulung yang bertambah kaya, sang Ibu pun bertanya hal yang sama. Jawab anak yang sulung :
"Ini semua adalah karena saya mentaati pesan ayah. Karena Ayah berpesan supaya saya tidak menagih kepada orang yang berhutang kepada saya, maka saya tidak pernah menghutangkan kepada orang lain sehingga dengan demikian modal tidak susut".
"Juga Ayah berpesan agar supaya jika saya berangkat ke toko atau pulang dari toko tidak boleh terkena sinar matahari, maka saya berangkat ke toko sebelum matahari terbit dan pulang sesudah matahari terbenam.
Karenanya toko saya buka sebelum toko lain buka, dan tutup jauh sesudah toko yang lain tutup." "Sehingga karena kebiasaan itu, orang menjadi tahu dan tokoku menjadi laris, karena mempunyai jam kerja lebih lama".
MORAL CERITA :
Kisah diatas menunjukkan bagaimana sebuah kalimat yang sama tapi di tanggapi dengan presepsi yang berbeda akan menghasilkan output yang berbeda pula. Jika kita menanggapinya dengan positif, maka keberhasilan, kesuksesan dan tercapai tujuan yang kita inginkan akan mudah kita raih.
Tetapi bila kita melihatnya dari sisi yang lain (yang negatif), maka kita bisa juga terhanyut dengan adanya kesulitan meraih apa yang kita inginkan. Karena kita sudah terlanjur mengartikan sebuah opini dalam persepsi negatif kita.
Coba anda lihat gambar gajah di bawah, menurut anda gajah mana yg paling besar?
See? begitu mudahnya persepsi kita keliru?atau dgn kata lain satu org dgn org lainnya kan mempunyai persepsi yang berbeda.thats life.....
Labels:
Renungan
Cinta Sejati Itu...
"A bell is no bell 'til you ring it,
A song is no song 'til you sing it,
And love in your heart
Wasn’t put there to stay -
Love isn’t love
'Til you give it away."
- Oscar Hammerstein, Sound of Music, "You Are Sixteen (Reprise)" -
Banyak orang bertanya, apa sih cinta sejati itu? Belum ada yang bisa menjawabnya...
Anda bilang Anda mencintainya, namun ketika Anda dihadapkan dengan sebuah masalah Anda keburu kabur dan tak mau menghadapinya.
Anda bilang Anda mencintainya, namun Anda diam saja dan menyembunyikan perasaan yang ada di dalam hati Anda.
Anda bilang Anda mencintainya, namun Anda tak acuh dan lebih peduli pada diri sendiri saja.
Anda bilang Anda mencintainya namun, hanya bibir yang berucap sedangkan tindakan diam seribu bahasa.
Anda bilang Anda mencintainya, namun tak pernah sabar rasanya menghadapi sikapnya yang kekanak-kanakan, egois dan bahkan merajuk seperti anak kecil
Mengapa Anda selalu menyimpan cinta yang tulus di dalam hati Anda dan tak membiarkan orang lain melihat dan merasakannya? Anda lebih senang berdiri di belakang tameng keegoisan, kebohongan dan ketidaksetiaan padahal jauh di dalam hati Anda ada sebuah cinta sejati yang tersimpan dengan aman.
Bagaimana Anda tahu bahwa Anda telah menemukan cinta sejati jika selama ini Anda tak sepenuhnya berusaha secara maksimal? Keluarkan dan ungkapkan semua perasaan sayang dan cinta Anda kepada dirinya jika memang Anda bilang Anda mencintainya.
Cinta itu sabar, murah hati, pemaaf, tidak egois dan memegahkan diri sendiri. Dan cinta itu selalu lemah lembut, tak pernah menyimpan dendam, jujur dan selalu tulus.
Ya, itulah cinta yang sama yang ada di dalam hati Anda. Dan Anda tak akan pernah tahu bahwa itu adalah cinta, sebelum Anda memberikannya kepada orang lain. (kpl/bee)
A song is no song 'til you sing it,
And love in your heart
Wasn’t put there to stay -
Love isn’t love
'Til you give it away."
- Oscar Hammerstein, Sound of Music, "You Are Sixteen (Reprise)" -
Banyak orang bertanya, apa sih cinta sejati itu? Belum ada yang bisa menjawabnya...
Anda bilang Anda mencintainya, namun ketika Anda dihadapkan dengan sebuah masalah Anda keburu kabur dan tak mau menghadapinya.
Anda bilang Anda mencintainya, namun Anda diam saja dan menyembunyikan perasaan yang ada di dalam hati Anda.
Anda bilang Anda mencintainya, namun Anda tak acuh dan lebih peduli pada diri sendiri saja.
Anda bilang Anda mencintainya namun, hanya bibir yang berucap sedangkan tindakan diam seribu bahasa.
Anda bilang Anda mencintainya, namun tak pernah sabar rasanya menghadapi sikapnya yang kekanak-kanakan, egois dan bahkan merajuk seperti anak kecil
Mengapa Anda selalu menyimpan cinta yang tulus di dalam hati Anda dan tak membiarkan orang lain melihat dan merasakannya? Anda lebih senang berdiri di belakang tameng keegoisan, kebohongan dan ketidaksetiaan padahal jauh di dalam hati Anda ada sebuah cinta sejati yang tersimpan dengan aman.
Bagaimana Anda tahu bahwa Anda telah menemukan cinta sejati jika selama ini Anda tak sepenuhnya berusaha secara maksimal? Keluarkan dan ungkapkan semua perasaan sayang dan cinta Anda kepada dirinya jika memang Anda bilang Anda mencintainya.
Cinta itu sabar, murah hati, pemaaf, tidak egois dan memegahkan diri sendiri. Dan cinta itu selalu lemah lembut, tak pernah menyimpan dendam, jujur dan selalu tulus.
Ya, itulah cinta yang sama yang ada di dalam hati Anda. Dan Anda tak akan pernah tahu bahwa itu adalah cinta, sebelum Anda memberikannya kepada orang lain. (kpl/bee)
Labels:
Renungan
Asal usul nama INDONESIA
PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865),
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: … the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Makna Politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan!
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.
Maka kehendak Allah SWT pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, lahirlah Republik Indonesia.
Hidup Indonesia ………
Sumber: Pikiran Rakyat
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865),
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: … the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Makna Politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan!
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.
Maka kehendak Allah SWT pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, lahirlah Republik Indonesia.
Hidup Indonesia ………
Sumber: Pikiran Rakyat
Labels:
FYI
Subscribe to:
Posts (Atom)