Apakah Anda bisa ‘merasakan’ adanya perubahan di perusahaan Anda? Saya sengaja memberi tanda petik (‘) pada kata merasakan untuk menekankan bahwa perubahan yang saya maksud bukanlah dari aspek fisik belaka. Perubahan dalam bentuk penerapan system baru atau kedatangan CEO baru tentu mudah untuk kita ketahui. Tapi tahukah Anda bahwa diperusahaan Anda sedang terjadi perubahan yang terjadi sedemikian halusnya sehingga hanya bisa disadari oleh mereka yang benar-benar bisa merasakannya? Orang yang tidak menyadari adanya perubahan itu sering kaget beberapa tahun kemudian. Lalu mereka mengatakan;”suasana kerja dikantor kita sudah tidak seperti dulu lagi..”. Padahal, perubahan itu tidak terjadi begitu saja. Sebaliknya, orang yang menyadari adanya perubahan itu tidak akan kaget. Karena setiap hari, mereka merasakan dan melakukan penyesuaian terhadap perubahan yang sedang berlangsung. Mereka yang tidak sadar, sering merasa dipaksa untuk menerima perubahan. Sedang mereka yang merasakannya sudah terbiasa mengikuti iramanya. Jika Anda boleh memilih, Anda ingin menjadi kelompok yang mana?
Saat sedang menunggu untuk boarding saya paling suka melihat pesawat terbang yang hendak take off dilandasan pacu. Setiap kali pesawat itu melintas, saya bisa merasakan betapa tingginya kecepatan gerak pesawat itu sehingga hanya dalam hitungan detik dia sudah menghilang dibalik awan. Anehnya, ketika saya berada didalam pesawat, saya tidak merasakan jika dia bergerak dengan kecepatan yang sedemikian tingginya. Mengapa ya? Oh, karena sekarang saya sudah menjadi bagian yang menyatu dengan tubuh pesawat itu. Ketika saya berada di luar pesawat, saya hanya menjadi penonton yang ‘menyaksikan’ pesawat terbang yang sedang bergerak sedemikian cepatnya. Sedangkan ketika berada dalam pesawat itu, saya adalah entitas yang bergerak sama cepatnya dengan pesawat itu. Seandainya saya berada di luar pesawat, lalu tubuh saya diikat ke pesawat. Tentu tubuh saya bisa hancur jika harus terbang mengikuti arah geraknya pesawat. Untuk bisa mengimbangi kecepatan pergerakan di perusahaan, kita pun harus benar-benar menjadi bagian yang menyatu dengan perusahaan itu. Jika tidak, kita akan sangat tersiksa mengikutinya. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar mengimbangi dinamika pergerakan perusahaan, saya ajak memulainya dengan memahami 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini:
1. Kapasitas diri yang terdayagunakan. Teman saya yang lulusan perguruan tinggi beken memiliki potensi tinggi. Dia bekerja di perusahaan biasa-biasa saja. Aktivitas kerjanya boleh dibilang santai-santai saja. Bahkan masih sempat membaca koran gossip atau bermain catur di jam kerja. Gajinya ‘cukup’ untuk kehidupan keluarganya. Pergi dan pulang kantor dengan ‘nyaman’ karena toh semua orang dikantornya juga begitu. Santai saja. Dia menyukai kenyamanan itu. Namun dalam hati dia sering bertanya; “Apa yang sudah saya capai dalam 10 tahun terakhir?” Pertanyaan itu semakin menjadi-jadi ketika teman saya itu bertemu dengan teman sekelas waktu kuliah dulu. Orangnya tidak lebih pintar dari dirinya. Bahkan, boleh dibilang ‘tidak ada apa-apanya’. Tapi, mengapa dia bisa lebih sukses dari dirinya? Setidaknya, itulah yang tercermin dalam pencapaian fisik dan karirnya. Orang ini pergi pada saat hari masih gelap. Dan pulang juga setelah matahari terbenam. Teman saya bertanya; “ngapain sih elu kerja banting tulang seperti itu?” Sebuah jawaban meluncur darinya; “Gua nggak banting tulang. Gua sedang mendayagunakan semua kemampuan yang gua miliki.” Teman saya tertegun. Lalu dalam hatinya dia berbisik;”sudah sejauh mana saya mendayagunakan kapasitas diri yang saya miliki….?”
2. Konsekuensi bekerja di perusahaan bagus. Teman saya yang lain bekerja di perusahaan dengan reputasi tinggi. Kebanyakan temannya adalah mereka yang memiliki kinerja tinggi, ambisius dan mempunyai standar kerja yang tinggi. Tuntutan perusahaan pun sangat tinggi. Kenaikan target kinerja, tuntutan terhadap kualitas kerja, penerapan kedisiplinan, tegangan tinggi dalam komunikasi dengan berbagai pihak, dan macam-macam hal lainnya. Kebahagiaan karena diterima diperusahaan itu segera diliputi oleh pemandangan yang boleh dibilang ‘mengerikan’. Tiba-tiba saja dia melihat dirinya begitu kecil diantara para raksasa yang berseliweran. Teman saya ini segera menarik nafas panjang. Lalu berusaha untuk menenangkan dirinya. “Hey, bukankah kamu sendiri yang ingin bekerja di perusahaan bagus ini?” begitu dia katakan kepada dirinya sendiri. Kenyataannya, tidak ada perusahaan bagus yang berkompromi dengan kualitas dan pencapaian. Mereka semua keras pada kedisiplinan dan komitmen. “Maka, disinilah kamu sekarang!” teguran keras itu kembali membentur kalbunya. “Kamu bisa menghadapi semuanya, atau kamu pergi saja dari sini untuk mencari perusahaan yang kamu kira bisa membuat dirimu bekerja dengan gampang…..” Teman saya itu lalu menyadari bahwa semua hal yang saat ini dihadapinya dikantor, adalah konsekuensi atas pilihannya sendiri untuk bekerja di perusahaan bagus. Maka untuk bisa bertahan di tempat yang bagus, pilihannya hanya satu. Yaitu; menjadi karyawan yang juga berkinerja bagus.
3. Generasi baru dengan kualifikasi baru. Sekarang teman saya sudah bekerja sekitar 10 tahun. Sejauh ini, dia sudah meraih pencapaian yang memuaskan. Bahkan beberapa kali mendapatkan penghargaan sebagai karyawan terbaik. Dia sudah merasa nyaman dengan iramanya. Bahkan, dia tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya dia bekerja di perusahaan ecek-ecek. Bukannya bahagia, malah batinnya mungkin akan menjadi tersiksa. Namun, ada satu hal yang akhir-akhir ini sangat mengganggu dirinya. Perusahaan mulai rajin merekrut orang-orang baru. Perasaan gundah mulai mengusik hatinya. Ada orang yang baru masuk dengan standard pendidikan yang tinggi. Ada yang berpengalaman dari perusahaan yang lebih besar. Ada yang sangat akrab dengan atasannya. Ada juga yang membawa keahliannya untuk membangun dan menerapkan system yang baru. Sekarang, jantungnya mulai sering berdebar-debar. Beberapa teman seangkatannya, mulai mengundurkan dengan alasannya sendiri-sendiri. “What will happen to me?” bisiknya. Lalu dia merenung dengan kesungguhan. “It is not about what will happen to you,” begitu ia mendengar suara dari dalam dirinya. “It is about how you want it happen to you.” Setelah merenung itu, dia menemukan bahwa semuanya itu terserah dirinya. Kehadiran orang baru adalah fitrah yang tidak bisa dihindari. Dirinyalah yang menentukan, apakah keadaan itu bisa menjadikan dirinya lebih baik, atau sebaliknya. Dan dia memilih untuk menjadikan keadaan itu sebagai pemacu kinerjanya. Sekarang, dia tidak lagi mengkhawatirkan kehadiran orang-orang baru yang membawa kualifikasi baru.
4. Lingkungan kerja kita terus berubah. Sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1998, dunia bisnis sudah berubah banyak. Krisis susulan tahun 2008 meluluhlantakkan struktur keuangan dunia sehingga bahkan perusahaan besar yang terbukti tangguh selama ratusan tahunpun bisa bangkrut dalam sekejap. Kabar baiknya, teman saya ini masih mempunyai pekerjaan dengan imbalan yang bagus di perusahaan yang besar pula. Kabar buruknya, krisis ekonomi dunia tidak benar-benar berakhir. Eropa dan Amerika, semakin ketar-ketir dengan perkembangan kondisi ekonomi mereka yang compang camping. Dan itu kemungkinan besar akan berimbas kepada keseluruhan kondisi perekonomian dunia. Akankah krisis berikutnya menyusul? Mungkin. Tetapi, jikapun itu terjadi; tak satupun perusahaan yang ingin menjadi korban. Oleh karenanya, setiap perusahaan yang ingin panjang umur tidak bisa lagi menerapkan prinsip business as usual. Karena menjalankan cara berbisnis seperti yang selama ini mereka lakukan hanya akan menempatkan mereka pada posisi yang sangat rentan. Teman saya, merasakan betul dampaknya terhadap kebijakan perusahaan. Teman-temannya pun merasakan hal yang sama. Lalu mereka bernostalgia; “perusahaan kita tidak senyaman dulu lagi ya…?” Suatu sore, dia mendapatkan email antah berantah yang subjeknya didahului dengan kata ‘Artikel’. Iseng-iseng dia membuka dan membaca email itu. Hatinya tersentak ketika dia membaca satu kalimat “Lingkungan kerja kita terus berubah.” Seolah baru bangun dari tidur, dia mulai sadar. Iya ya, lingkungan kerja kita terus berubah. Betapa bodohnya saya yang menuntut keadaan untuk tetap sama seperti dulu. Sekarang, teman saya menemukan bahwa; dirinya, harus turut berubah.
5. Terus berkembang atau ikut tergusur. Teman saya memiliki tetangga yang sudah pensiun. Tidak disangka, ternyata beliau adalah pensiunan pejabat dari sebuah group perusahaan raksasa yang sangat bergengsi. ‘Tidak disangka’ karena keadaannya sekarang sungguh sangat kontras dengan kehidupan seorang pejabat perusahaan swasta. Beliau senang sekali kalau bercerita tentang mantan anak buahnya yang sekarang sudah pada sukses di perusahaan itu. Namun, wajahnya agak berubah setiap kali bercerita tentang bagaimana keputusan untuk pensiun dini diambilnya beberapa tahun lalu. Sebagai karyawan kunci, tidak diragukan peran penting beliau. Sampai tiba saatnya perusahaan menerapkan system kerja yang baru dengan teknologi yang jauh lebih canggih. “Saya sudah nyaman dengan cara kerja yang lama. Toh hasilnya juga bagus-bagus saja. Biar ajalah, orang-orang muda saja yang menjalankan teknologi baru,” kilahnya. Dan ketika teknologi baru itu diterapkan sepenuhnya, tidak ada lagi tempat untuk mereka yang tidak bersedia mempelajari dan menyesuaikan diri dengannya. Teman saya tercenung mendengar ceritanya. Dia tahu bahwa perkembangan itu terjadi disemua perusahaan yang ingin bertahan. Apalagi perusahaan yang bagus dan ambisius. Dia kembali membayangkan masa depannya. Sambil sesekali melihat kehidupan mantan pejabat perusahaan swasta beken itu. Teman saya berkata kepada dirinya sendiri;”Aku ingin masa depan yang lebih baik.” Lalu dia menyadari bahwa untuk bisa mewujudkan itu, dia harus terus berkembang. Kalau tidak, dia hanya akan menjadi karyawan udzur, yang bisa kapan saja tergudzur.
Perusahaan tempat kita bekerja tidak ubahnya seperti sebuah pesawat terbang. Orang diluar mengatakan jika pesawat kita bergerak sedemikian cepatnya. Tetapi Anda, nyaman saja berada didalamnya. Itu karena Anda bergerak ‘sama cepatnya’ dengan pergerakan pesawat. Dalam konteks pekerjaan, itu berarti kesediaan kita untuk menyesuaikan diri kearah perubahan yang sedang berlangsung di perusahaan. Belajarlah untuk lebih peka pada dinamika yang terjadi di perusahaan Anda. Cepat atau lambat, Anda akan terampil untuk merasakan sekecil apapun perubahan yang terjadi didalamnya. Dengan begitu, Anda bisa berubah sedikit demi sedikit seirama dengan perubahan itu. Sepuluh tahun lagi pun Anda akan tetap menikmati proses itu. Ketika orang lain pusing dengan ‘perubahan’ yang terjadi dalam ’10 tahun terakhir’, Anda menilainya sebagai sebuah pertumbuhan alami yang terjadi sehari-hari. Jadi, jika ingin nikmat saat menjalani perubahan di perusahaan, maka Anda harus belajar untuk merasakannya. Lalu menyesuaikan diri sejalan dengan perubahan, dan dinamika yang Anda rasakan.
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman – 1 November 2011
Penulis buku ”Natural Intelligence Leadership” (Tahap editing di penerbit)
Catatan Kaki:
Perubahan di perusahaan hanya akan bisa dinikmati oleh orang-orang yang bersedia untuk secara utuh menyesuaikan dirinya dengan perusahaan. Mereka yang setengah-setengah? Hanya akan menjadikan dirinya terseret arus perubahan itu.
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.
Thursday, January 5, 2012
Wednesday, January 4, 2012
Jejak Sepatu Di Karpet
Sebuah kisah nyata…
Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki.Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan dan kerapihan rumah dapat ditanganinya dengan baik. Rumah tampak selalu rapih, bersih dan teratur dan suami serta anak-anaknya sangat menghargai pengabdiannya itu.
Cuma ada satu masalah, ibu yang pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor.
Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi dan menyiksanya.
Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir, dan menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum dan berkata kepada sang ibu :
“Ibu harap tutup Mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan” Ibu itu kemudian menutup matanya.
“Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?”
Sambil tetap menutup Mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yang murung berubah cerah. ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.
Virginia Satir melanjutkan; “Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi”.
Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, napasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.
“Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu dan kotoran disana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu”.
Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tersebut.
“Sekarang bukalah Mata ibu” Ibu itu membuka matanya “Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?”
Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Aku tahu maksud anda” ujar sang ibu, “Jika Kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif”.
Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu di sana, ia tahu, keluarga yang dikasihinya ada di rumah.
Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder dan John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming). Teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana Kita ‘membingkai ulang’ sudut pandang Kita, sehingga sesuatu yang tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya.
Terlampir beberapa contoh pengubahan sudut pandang : Saya BERSYUKUR;
1.Untuk istri yang mengatakan malam ini Kita hanya makan mie instan, karena itu artinya ia bersamaku bukan dengan orang lain.
2.Untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV, karena itu artinya ia berada di rumah dan bukan di bar, kafe, atau di tempat mesum.
3.Untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal, karena itu artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak jalanan.
4.Untuk Tagihan Pajak yang cukup besar, karena itu artinya saya bekerja dan digaji tinggi.
5.Untuk sampah dan kotoran bekas pesta yang harus saya bersihkan, karena itu artinya keluarga kami dikelilingi banyak teman.
6.Untuk pakaian yang mulai kesempitan, karena itu artinya saya cukup makan.
7.Untuk rasa lelah, capai dan penat di penghujung Hari, karena itu artinya saya masih mampu bekerja keras.
8.Untuk semua kritik yang saya dengar tentang pemerintah, karena itu artinya masih ada kebebasan berpendapat.
9.Untuk bunyi alarm keras jam 5 pagi yang membangunkan saya, karena itu artinya saya masih bisa terbangun, masih hidup.
10.Untuk setiap permasalahan hidup yang saya hadapi, karena itu artinya Tuhan sedang membentuk dan menempa saya untuk menjadi.
Labels:
Renungan
Subscribe to:
Posts (Atom)