by Pak Peter Febian
Tantangan kehidupan dan karir semakin kompleks, sulit, dan multi-dimensional ke depannya...
Sudah banyak pihak memastikan hal itu... ini bukanlah persepsi atau opini saya semata...
Para ahli rekayasa sosial, bisnis, manajemen, dan kepemimpinan menyebut kondisi ini sebagai VUCA, yang merupakan kependekan dari:
Volatility - Uncertainty - Complexity - Ambiguity
Istilah VUCA pada awalnya merupakan gagasan dari US Army War College, yang digunakan untuk menggambarkan situasi di Afghanistan & Irak setelah Perang Dingin.
Namun dalam perkembangannya, ternyata istilah VUCA dilihat sebagai terminologi yang tepat dan representatif untuk menggambarkan kondisi yang kita semua sedang alami dan rasakan belakangan ini (dan ke depannya juga).
Sebenarnya, sudah banyak pihak dan sumber kredibel yang membahas perihal VUCA ini, silakan kawan-kawan cari di jagat Internet, sebagai tambahan referensi...
Pemaparan saya di sini adalah hasil pemikiran saya atas situasi faktual saat ini, yang saya sinergikan dengan berbagai wacana yang sebelumnya pernah menjadi diskusi kita bersama.
Mengapa tiba-tiba saya membahas VUCA?
Gak lain dan gak bukan adalah karena begitu banyaknya pertanyaan konsultasi karir dari para warganet, yang ternyata ujung jawabannya terkait banget dengan kondisi ini.
Jadi, supaya saya gak perlu lagi ngulang-ngulang jawaban dan proses pemahamannya... plus saya juga suka membahas soal ini di berbagai seminar tentang Personal Brand, maka...
...yukz kita bedah satu-persatu definisi VUCA ini...
V - VOLATILITY
Bahasa Indonesia-nya adalah volatilitas atau "kondisi yang tidak stabil dan bergejolak".
Volatility ditandai dengan dinamika tinggi pada suatu kondisi, dimana banyak hal dan variabel dapat sering berubah-ubah dalam periode waktu yang singkat.
Apa yang kita pelajari saat ini, bisa jadi sudah gak relevan lagi dalam beberapa tahun ke depan, akibat perubahan drastis pada berbagai kondisi dan ruang lingkup yang ada.
Masalahnya, kita tetap harus mempelajari banyak hal; sebanyak yang kita mampu rengkuh...
Karena kita tidak pernah tahu mana pengetahuan yang kelak terpakai sepenuhnya...
...mana pengetahuan yang kelak gak terpakai lagi...
...dan mana pengetahuan yang kelak akan menjadi salah satu fondasi penting bagi pengetahuan dan keahlian baru yang kita ciptakan dan kita bangun di masa depan...
U - UNCERTAINTY
Bahasa Indonesia-nya adalah ketidak-menentuan atau ketidak-pastian.
Kita mengenal suatu adagium yang mengatakan bahwa:"Gak ada yang pasti
dalam kehidupan ini,selain:
- pajak,
- perubahan, dan- kematian,
- ketidakpastian."
Uncertainty ditandai dengan sulitnya kita memprediksi dan merencanakan langkah-langkah untuk antisipasi strategis masa depan kita dan organisasi.
Masalahnya, kita harus tetap menyusun rencana. Kita tetap harus bisa memprediksi berbagai gambaran besar dan benang merah dari banyak peristiwa yang terjadi di sekitar kita.
Umumnya individu atau organisasi harus membuat berbagai rencana cadangan, rencana antisipasi, metode improvisasi, dan penguatan sikap adaptif terhadap berbagai hal tidak terduga yang kelak akan terjadi.
Contoh salah satu wujud Uncertainty di dunia ketenagakerjaan ditandai dengan sudah semakin gak relevan-nya banyak jurusan kuliah dengan kemudahan pencarian kerja dan kebutuhan dunia industrial modern yang sarat dengan eksploitasi teknologi tingkat tinggi.
Di jaman sekarang, sudah gak relevan lagi buat mengkaitkan jurusan kuliah tertentu dengan kemudahan atau kecepatan jobseeker untuk dapetin kerjaan.
Saya sudah ngeliat dengan mata kepala sendiri, betapa semua orang tanpa kecuali, bisa saja mengalami susah cari kerja atau ketidak-menentuan dalam perjalanan karir.
Gak peduli dia punya jenjang akademik di level mana pun; apakah punya sertifikasi berderet, apakah punya pengalaman banyak, dan sejumlah kualitas profesional lainnya...
Ada cukup banyak "faktor tak kasat mata" yang bisa menentukan keberuntungan kita dalam mendapatkan dan menjalani pekerjaan yang pas dan sinergis dengan panggilan jiwa kita.
Salah satunya adalah kualitas hubungan baik kita dengan banyak orang.
Itulah sebabnya mengapa keterampilan komunikasi & membangun hubungan baik dengan banyak orang, menjadi keahlian yang semakin langka dan semakin mahal ke depannya.
Intinya, kita tetap harus mengusahakan segala hal sebaik mungkin… betapa pun tidak menentunya situasi di luar sana...
Karena jika hal-hal tidak terduga masih mungkin terjadi pada mereka yang sudah mengusahakan pencapaian terbaik bagi hidupnya...
...lah apalagi pada mereka yang tidak mengusahakan apa pun demi kualitas kehidupannya...
C - COMPLEXITY
Bahasa Indonesia-nya adalah kompleksitas atau kerumitan.
Kehadiran teknologi tentu saja telah menyederhanakan banyak masalah dan mempercepat banyak penyelesaian masalah.
Namun di sisi lain, kehadiran teknologi juga telah menghadirkan - salah satunya - banjir informasi tanpa batas; yang seringkali membuat kita bingung sendiri dan semakin sulit menentukan fokus perhatian.
Berbeda dengan era '90an dimana kehidupan berjalan tenang dan nyaman, tanpa terlalu hiruk-pikuk dengan teknologi dan media sosial.
Banyak orang yang hidup di masa itu bisa dengan mudahnya menentukan fokus pada hal tertentu dan menjalaninya dengan tenang hingga berhasil mencapai suatu target atas hal itu.
Namun di jaman sekarang, "kegaduhan digital" telah membuat kita harus semakin mahir menentukan fokus hidup kita, dengan tanpa terganggu oleh berbagai distraksi dalam perjalanannya; tetapi juga siap mengubah arah kapan pun dibutuhkan.
Apakah lantas kita harus menolak teknologi?
Jelas tidak. Jangan sampai kita anti-teknologi.
Di era serba-kompleks ini, justru manusia harus semakin mahir mengeksploitasi teknologi, demi meningkatkan kualitas kehidupan dan membangun hubungan yang lebih baik bersama sesamanya…
Jangan sebaliknya... Mengeksploitasi manusia lain, demi menikmati teknologi. Ini sih bangke namanya...
Nah loh... gak perlu garuk-garuk kepala yaaa... nanti rambutnya rontok... :))
A - AMBIGUITY
Bahasa Indonesia-nya adalah ambiguitas, atau kemenduaan.
Bahasa gaulnya: serba gaje. Serba mengambang. Gak ada yang tampak ajeg atau tegas.
Maju salah, mundur salah. Jujur puyeng, bohong pusing. Kiri kena, kanan kena. Ke atas meledak, ke bawah meleduk.
Menghadapi keadaan yang penuh ambiguitas, kita semua harus menyadari satu hal, bahwa:Kita harus sepenuhnya sadardan konsekuen atas apa pun
Percayalah, bahwa setiapkeputusan yang kita ambil.
Bahkan gak memutuskan apa pun,keputusan ada konsekuensinya.
ada konsekuensinya.
Tuhan di balik setiap keputusanPercayalah, bahwa ada rencana
yang kita ambil, apakah itu
atau yang kita anggap salah.
keputusan yang kita anggap benar
Loh, kenapa bawa-bawa Tuhan?
Sedikit renungan...
Bukankah Tuhan berkuasa bahkan atas setiap helai rambut kita yang rontok atau setiap helai daun yang jatuh ke tanah?
Kenyataannya, gak ada keputusan yang benar-benar salah absolut atau benar-benar betul absolut.
Ini terjadi karena setiap keputusan kita terikat pada konteks ruang, waktu, aktor, dan situasi di saat keputusan itu kita buat.
Yang kita putuskan saat ini dan kelihatannya benar, bisa jadi di masa depan menjadi terasa salah. Demikian juga sebaliknya.
Maka dari itu, bagaimana pun juga, sesulit apa pun juga kondisi yang kita hadapi... keputusan harus kita ambil.
Konsekuenlah, bertanggungjawablah, dan ambillah sebanyak-banyaknya pembelajaran dari semua itu...
Karena kelak itulah yang akan menjadi definisi terkuat dari jati diri kita (Personal Brand).
Lalu... bagaimana caranya atau bagaimana sebaiknya kita menghadapi era VUCA ini? Menghadapi era VUCA memang tidak mudah, terutama jika kita tidak punya prinsip atau jati diri.
Saya pikir, konsep "5D for VUCA" adalah tema yang paling tepat untuk artikel ini.
Apa sajakah 5D itu, demi menghadapi era VUCA dan bisa bertahan atau bahkan sukses di dalamnya?
1. DISRUPSI (diri sendiri)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "disrupsi" didefinisikan sebagai "hal tercabut dari akarnya".
Menurut definisi umum, disrupsi sering digunakan untuk mewakili era digital yang mengubah banyak sendi kehidupan dan cara hidup secara radikal dan fundamental.
Menurut pemahaman pribadi saya, disrupsi adalah sebuah karakter dimana hal-hal lama yang sudah usang dan tidak lagi efektif terhadap maunya jaman, (otomatis) tergantikan oleh hal-hal baru yang lebih segar, gesit, efisien, dan efektif dalam menghadapi tantangan jaman.
Secara berkala melakukan disrupsi terhadap diri kita sendiri, adalah kebijakan terbaik dalam menghadapi era VUCA yang serba tidak menentu & sangat dinamis.
Apakah yang kita lakukan selama ini sudah di arah yang tepat? Apakah sudah efisien dan efektif? Apa yang harus dipangkas? Apa yang harus ditambah? Apa yang harus disinergikan dengan yang lain?
Apakah keahlian utama kita? Apa saja keahlian pendukung keahlian utama kita? Apa dalam diri kita yang punya daya saing dan daya jual untuk masa depan? Seberapa kompetitifnyakah kita di masa depan? Apakah kita lebih banyak kelebihannya atau kekurangannya?
Dan sejumlah pertanyaan introspektif lainnya...
Selalu siangilah gulma dalam diri kita, cabutlah hingga ke akarnya. Misalnya: malas mengembangkan diri, malas bergaul, malas membaca, acuh terhadap sekeliling, dan banyak lagi gulma jiwa maupun gulma spiritual lainnya.
Disrupsi-lah gulma-gulma jiwa dan spiritual itu, yang terbukti seringkali menghambat pertumbuhan tanaman spiritual utama dalam jiwa kita.
Supaya tanaman utama kita berbuah dan berdaun rimbun, demi kita bisa menjadi sumber keteduhan dan buah manis berlimpah bagi kehidupan orang lain dan masyarakat.
2. DESENTRALISASI (diri sendiri)
Dari arti katanya sudah jelas, bahwa "sentralisasi" berarti "pemusatan" atau "konsentrasi", sedangkan "desentralisasi" berarti "penyebaran" atau "de-konsentrasi".
Maksud yang lebih tepatnya adalah "membuat sesuatu menjadi tidak lagi eksklusif, agar mudah diubah atau dikoreksi oleh banyak pihak, sesuai dengan dinamika jaman".
Contohnya begini...
Jaman saya dulu hobi fotografi di era '90an, berasanya keren banget, karena hanya sedikit orang yang benar-benar menguasai keahlian memotret. Peralatannya pun gak murah.
Menjadi fotografer di era '90an sempat menjadi profesi yang keren dan menjanjikan. Klub-klub dan berbagai komunitas fotografi pun bermunculan.
Fotografer sempat menjadi kalangan yang eksklusif. Terjadi "sentralisasi kewenangan" ilmu fotografi di segelintir pakar & praktisi fotografi, yang dianggap "berwenang & berwibawa" untuk mengatakan apa yang boleh & gak boleh dilakukan di dunia fotografi, beserta kaidah-kaidah dogmatiknya.
Kehadiran teknologi dan media sosial telah benar-benar mendesentralisasi peran fotografi dan fotografer.
Jaman sekarang, dari mulai orok baru brojol hingga kakek-nenek renta; bisa memotret dan langsung upload di media sosial mereka. Hasilnya pun bagus-bagus booo...
Tidak ada lagi "pihak2 eksklusif, berwenang, dan sentral" yang mengatakan bahwa ini boleh atau itu gak boleh.
Basa Sunda-nya adalah "sakumaha aing we ateuhhh"...
Kita semua mengenalnya sebagai "personalisasi". Teknologi telah mendesentralisasi dan mempersonalisasikan begitu banyak hal, yang di masa lalu tersentralisasi dan hanya dikuasai oleh sedikit orang saja.
Di dunia teknologi, Internet di jaman sekarang pun sudah ter-desentralisasi. Tadinya, Internet merupakan teknologi yang hanya eksklusif dan tersentralisasi di kalangan militer saja.
Di jaman sekarang, sudah tidak jaman lagi kita menjadi orang yang sok eksklusif dan sok tersentralisasi.
Seorang CEO & Direktur yang ikut makan di tikar bersama-sama dengan anak buahnya hingga ke level OB di saat kantornya mengadakan event outbond, sudah jamak kita lihat.
Anak-anak muda menjadi Founder suatu perusahaan rintisan baru, sudah jamak.
Ibu-ibu dengan segala keterbatasan di rumah yang harus mengurus anak-anaknya, tetap bisa berbisnis online & mendapatkan penghasilan yang bahkan lebih besar dari penghasilan suaminya di kantor.
Desentralisasikanlah diri kita terus-menerus... berbaurlah bareng banyak orang dalam kebersamaan dan empati... selalu bantulah sekeliling kita dengan apapun kelebihan maupun keterbatasan kita...
Punya pengetahuan dan merasa itu eksklusif? Sudah gak jaman lagi...
Apa pun yang kita (pikir) ketahui, sudah ada penjelasan & pemahamannya di jagat Internet. Gak ada lagi pengetahuan yang benar-benar eksklusif. Semuanya bisa kita pelajari dari nol, oleh siapa pun.
Maka ada adagium: di kolong langit ini, tidak ada satu hal pun yang benar-benar baru.
Berbagilah pengetahuan selalu... apalagi selama kita masih belum bisa mengamalkan banyak materi karena berbagai keterbatasan finansial, misalnya...
Misalnya, ada tiga orang karyawan dari departemen HR, Finance, dan Operational. Mereka bisa berkumpul bersama saling berbagai pengetahuan satu sama lain. Kelak mereka akan menghasilkan tiga orang baru dengan pengetahuan lintas-bidang yang jauh lebih lengkap dan berkekuatan besar.
HR yang memahami Finance & Operational, Finance yang memahami HR & Operational, dan Operational yang memahami HR & Finance.
Ini disebut sebagai "Dream Team"...
Karena terisi oleh anggota tim yang rendah hati, penuh empati, dan mau mempelajari hal baru. Mereka selalu bersedia mendisrupsi dan mendesentralisasi diri mereka sendiri, tanpa diminta siapapun.
Tidak ada lagi yang namanya "Silo Mentality", atau "Ego Sektoral". Kultur inilah yang populer di bisnis Startup yang ramping, dengan rantai hirarki yang pendek.
Semuanya ini hanya mungkin terjadi berkat saling berbagi dan saling membesarkan satu sama lain, dalam kebersamaan dan semangat bersinergi...
3. DEKONSTRUKSI (diri sendiri)
Kata "konstruksi" bermakna sebagai "susunan", "bangunan", "rancangan", atau "pengelompokan".
Sehingga kata "dekonstruksi" bermakna sebagai "perombakan-ulang" susunan, bangunan, rancangan, atau pengelompokan yang sebelumnya telah ada.
Apa yang selama ini telah kita susun & kita kelompokkan, bisa saja sewaktu-waktu kita ubah dan konstruksikan-ulang, supaya lebih gesit dan adaptif dalam menghadapi maunya jaman VUCA.
Misalnya, tadinya kita bekerja dengan urutan A-B-C-D-E-F-G secara runut. Bisa saja suatu saat kita ubah atau modifikasi menjadi C-B-A-F-E-G jika perubahan itu terbukti lebih efektif dan lebih efisien bagi proses kerja kita.
Atau bahkan bisa saja menjadi B-E-F-G, jika ternyata A & C terbukti menjadi penghambat efektivitas dan efisiensi proses kerja kita.
Jaman dulu, saya paling suka mempelajari segala sesuatunya dengan membaca teks. Tapi di jaman sekarang, saya harus terus mendekonstruksi metode saya belajar, supaya bisa lebih banyak meraup lebih banyak pengetahuan dalam waktu yang lebih singkat.
Saya harus mau baca buku tebel berbahasa Inggris, betapa pun saya gak suka membacanya. Harus mau nonton banyak channel YouTube yang berfaedah. Harus mau diskusi bareng mereka yang lebih pakar. Harus mau capek dateng ke seminar-seminar. Harus rajin menulis dan berbagi pengetahuan demi menghidupkan diskusi. Harus mau mengeksploitasi teknologi dan media sosial....
Dan masih banyak lagi "harus mau capek" yang lainnya...
Karena semakin banyak yang harus kita pelajari untuk semakin melengkapi pengetahuan inti yang selama ini kita pegang erat, namun semakin sedikit waktu yang tersedia karena semakin banyaknya hal yang harus kita lakukan di era serba-kompleks & serba-cepat ini.
Karena cita-cita saya tinggi, maka saya harus terus mendekonstruksi diri saya, demi keluar dari zona nyaman kemalasan saya...
Saya harus mau belajar Finance juga, IT juga, Operational juga, Engineering juga, Marketing juga, Sales juga, dan masih banyak lagi...
Apakah menjadi spesialis lantas sudah tidak menarik lagi?
Masih menarik koq...
Tapi, spesialis di masa depan, adalah spesialis yang juga menguasai beberapa pengetahuan pendukung dengan baik, di luar pengetahuan spesialisasinya selama ini.
Suatu saat, perusahaan-perusahan akan lebih tertarik dengan perwira HR yang juga memahami Business Process, Finance, dan IT; misalnya. Suatu saat, HR yang benar-benar tahunya hanya HR doang, akan semakin sedikit pilihan lowongan kerjanya, alias akan mudah tersisih dengan kandidat lain yang memiliki sejumlah kombinasi keahlian pendukung yang lebih berdaya-jual tinggi.
Misalnya seorang HR dalam mempelajari IT, tidak perlu sampe bisa coding. Tapi setidaknya memahami alur kerja dan logika berpikir yang selama ini dianut oleh para praktisi IT. Ini akan membuat sang HR tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih tangkas (agile), efektif, dan efisien. Demikian juga dengan bidang-bidang lainnya.
Kita sebaiknya menguasai 1-2 kompetensi inti (spesialis), dan menguasai beberapa kompetensi pendukung (generalis) yang dapat bersinergi & lebih mengefektifkan kinerja kompetensi inti kita.
Ini semua hanya bisa kita capai dengan kita yang secara istiqomah (tekun / determinasi / teguh) terus-menerus mendisrupsi, mendesentralisasi, dan mendekonstruksi diri kita.
4. DISIPLIN (diri sendiri)
Udah jelas ya gaesss... sampe kapan pun, disiplin diri itu penting!
Karena ketika kita gak bisa membangun disiplin diri, maka kehidupan ini dan orang lainlah yang akan mendisiplinkan kita. Percayalah, itu lebih gak nyaman buat kita...
Karena fondasi utama dari "konsistensi" adalah "disiplin". Karena rahasia semua orang sukses sesungguhnya hanya satu: disiplin, keteraturan, dan konsistensi dalam perilaku mikro mereka sehari-harinya.
Percayalah... jauh lebih enak kalo kita mendisiplinkan diri sendiri duluan...
Tidak ada hal besar, mulia, dan sukses; yang dibangun tanpa komponen "disiplin" & "konsistensi" di dalamnya.
Disiplin & konsisten untuk melakukan apa?
Untuk selalu men-disrupsi diri sendiri...
Untuk selalu men-desentralisasi diri sendiri...
Untuk selalu men-dekonstruksi diri sendiri...
5. DOA
...yang diucapkan sebanyak mungkin orang lain, untuk kebaikan hidup kita...
Loh kan saya introvert? Wah kan saya kuper? Ups kan saya gak bisa gaul? Halah saya kan gak suka basa-basi...
Masalahnya... mau sampe kapan kaya begitu? Sampe sistem robotik & kecerdasan buatan menggantikan semua keahlian & pekerjaan kita, terus kita cuman bisa mewek di pinggir kali?
Muncullah... bergaullah... bukalah wawasan... bukalah pikiran kita terhadap keberadaan orang lain dan berbagai pengetahuan baru...
Maka ada peribahasa: Pikiran kita ibarat parasut, yang hanya bisa berfungsi optimal dalam keadaan terbuka.
Supaya semakin banyak doa dan pengharapan baik dari orang-orang di sekitar kita, tertuju pada kebaikan hidup kita... karena mereka telah merasakan keteduhan jiwa dan manisnya buah kehidupan yang kita bawakan bagi kehidupan mereka dan kehidupan banyak orang...
Loh, koq banyak orang? Gimana caranya? Masak harus satu-persatu kita ladenin? Kita kan abis waktu di kantor plus buat keluarga. Kapan waktunya buat banyak orang?
Jawab: Lah, terus apa fungsi teknologi dan media sosial? Bukankah fungsi teknologi adalah untuk semakin memperkuat dan semakin memperluas jangkauan kebaikan yang dapat diperbuat manusia?
Eksploitasilah teknologi, demi kebaikan sebanyak mungkin orang...
Supaya semakin banyak orang yang mendoakan kita dengan hati yang penuh sukacita dan pengharapan baik...
Doa kita sendiri, itu tentu penting adanya...
Tapi doa yang paling kuat adalah doa yang dipanjatkan oleh orangtua kita dan keluarga inti kita...
Dan juga doa sebanyak mungkin orang lain bagi diri kita...
Doa yang paling mujarab adalah doa yang dipanjatkan oleh orang-orang yang tidak bisa membalas kebaikan kita secara langsung pada saat itu...
Apakah kita sudah memberi makan seseorang yang sudah terlalu lama menahan lapar?
Apakah kita sudah membawakan sebatang lilin dalam kegelapan hidup orang lain?
Apakah kita sudah menjadi pembawa kasih bagi hati yang hancur & jiwa yang remuk?
Apakah kata-kata kita dapat menyegarkan kembali jiwa-jiwa yang sudah putus asa dan apatis terhadap betapa kerasnya kehidupan yang harus mereka jalani?
Betapa beruntungnya kita hidup di era teknologi, dimana kita dapat berbuat kebaikan dengan mudah bagi banyak orang secara bersamaan, dalam waktu sekejap...
Menuai amal-ibadah sambil terus mengembangkan diri kita, kini dapat kita lakukan dengan jauh lebih mudah...
Lalu, mengapa kita masih menunda soal 5D ini, di saat era VUCA telah mendekap kita dengan semakin erat?