Wednesday, September 2, 2009

Pemilu untuk Teknologi, Teknologi untuk Pemilu ?



Sebenarnya penulis sudah sangat bosan menanggapi FUD (Fear, Uncertainty, Doubt) mengenai Linux/Open Source di media massa. Setelah pemberlakuan UU HaKI, banyak orang mulai sadar bahwa Linux/Open Source merupakan alternatif terbaik untuk mengantisipasinya. Alih-alih mengemis pada Microsoft/BSA untuk tawar-menawar harga lisensi software asli (bila perlu minta diskon besar biar bisa ditilep ;)), sudah saatnya pengguna TI menentukan nasibnya sendiri. Linux/Open Source terbukti murah (penulis berusaha tidak menggunakan kata gratis), andal, mudah dipelajari dan dikembangkan, serta relatif aman dan kebal virus (perhatikan kata relatif di sini). Maka akan sangat mengherankan jika ada orang (bisa dikatakan pengamat TI) yang meragukan hal ini, mengingat sudah sejak 1999 Linux/Open Source muncul dari kekuatan bawah tanah menjadi isu terhangat di dunia TI.


Maka sangat mengherankan membaca artikel di koran Kompas hari Senin tanggal 6 September 2003 halaman 37 di rubrik 8@9 (anonim) berjudul Pemilu dan Teknologi. Meskipun anonim, nada artikel (atau mungkin e-mail?) menyiratkan seorang yang peduli dengan dunia TI dan politik (khususnya pemilu), atau jangan-jangan merupakan salah satu pihak yang terllibat di seputar tender penyediaan sistem informasi pemilu yang menghebohkan itu (?). Mr X (selanjutnya penulis menyebut sang anonim) terkesan membela keputusan KPU yang enyerah begitu saja kepada pilihan yang disediakan para peserta tender (untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya) untuk menggunakan perangkat lunak berbasis Windows. Selanjutnya Mr X menghujat para pengkritik yang merupakan pembela Linux/Open Source dengan menyebutkan bahwa harga lisensi Windows (dan aplikasinya) lebih murah daripada Linux/Open Source, bahwa Windows lebih mudah digunakan dan diinstalasi pada 8/.000 komputer yang akan digunakan pada sistem informasi pemilu karena sudah ada dari sononya (vendor).



Beberapa hal perlu digarisbawahi di sini:




...Benar bahwa perangkat lunak open source yang disediakan aplikasi Linux bisa tersedia murah, bahkan gratis, dan bisa digunakan dalam sistem teknologi informasi Pemilu 2004. Persoalannya adalah kita tidak bisa menyebutnya sebagai sebuah rekayasa karena ada "udang di balik batu" dalam penggunaannya....



Mr X mengakui bahwa perangkat lunak open source/Linux murah dan cenderung gratis, namun entah apa yang dimaksud udang di balik batu, karena perangkat lunak open source tersedia lengkap dengan source code-nya sehingga tidak ada yang disembunyikan atau tidak ada udang di balik batu. Perangkat lunak open source justru menjanjikan kebebasan dan transparansi sepenuhnya bagi penggunanya, bebas untuk menggunakan, menyebarluaskan, memperbanyak, dan mengutak-atiknya (mengembangkannya).

...Siapa yang mengerti seluk-beluk bisnis teknologi informasi secara menyeluruh? Karena, persoalan teknologi informasi juga terletak pada sisi bisnisnya, yang membedakan misalnya penggunaan lisensi OEM (Original Equipment Manufactured) pada sistem operasi Windows dan aplikasi lainnya yang bisa lebih murah dibanding open source...




Di sini Mr X mengklaim dirinya lebih mengerti tentang bisnis teknologi informasi dibandingkan para pendukung open source/Linux. Penulis mungkin tidak bisa berdebat tentang itu, karena tingkat pengetahuan itu relatif, sesorang yang mengklaim tentu cukup PD untuk menyatakan hal itu. Tapi penulis sedikit-sedikit tahu tentang OEM, yaitu perangkat lunak yang dibeli bersama perangkat keras dan tidak boleh diperbanyak, serta tidak di-support oleh pembuat perangkat lunaknya, namun oleh vendor perangkat kerasnya. Setahu penulis juga harga lisensi Windows OEM (98, Me, XP Home) adalah sekitar $84 per kopi, dan untuk XP Professional (yang digunakan di Pemilu 2004) adalah sekitar $139 per kopi. Entahlah, dari mana Mr X menyatakan ini lebih murah dibandingkan Linux/open source yang paling mahal adalah sekitar $79-119 (RedHat/SuSE/Mandrake), dengan izin memperbanyak dan menyebarluaskan tanpa batas (satu lisensi untuk semua). Perlu digarisbawahi bahwa lisensi Windows belum termasuk Office, yang harganya sekitar $249 per kopi, dan perangkat lunak lainnya (antivirus, utility) yang total akan meghabiskan sekitar $500 per komputer. Dengan volume licensing (diskon pembelian banyak), harga mungkin bisa ditekan sampai separuhnya, namun tetap tidak bisa menandingi Linux dengan sistem sekali beli, sudah termasuk semua aplikasinya (lebih lengkap daripada Windows), tinggal memperhitungkan biaya perbanyakan yang tidak lebih dari $2-3 per kopi. Jadi, bagaimana bisa lisensi OEM Windows dan aplikasinya lebih murah daripada open source/Linux?

...Kenapa? Karena lisensi OEM sudah terintegrasi di dalam sekitar 8.000 unit komputer PC yang akan digunakan dalam Pemilu 2004. Artinya? Perangkat komputer PC itu sudah bisa digunakan di berbagai pelosok Indonesia....



Terjawab sudah pertanyaan di poin (2) di atas. Sayangnya, sebagai seorang yang mengklaim mengerti seluk-beluk bisnis teknologi informasi, Mr X belum tahu bahwa banyak (untuk tidak mengatakan sebagian besar) produsen PC sudah menyediakan komputer OEM Linux, yang sudah bisa langsung digunakan di seluruh pelosok Indonesia. Apakah nama-nama Compaq (sekarang HP), IBM, Dell, Acer, Mugen, Wearnes asing bagi pengamat bisnis TI? Mereka adalah nama-nama produsen PC yang menyediakan komputer OEM Linux siap pakai. lengkap dengan support-nya dengan harga yang (jauh) lebih rendah dibandingkan komputer Windows OEM. Spesifikasinya mungkin lebih rendah, namun harus diingat bahwa untuk aplikasi yang setara, Linux membutuhkan sumber daya yang lebih rendah dibandingkan Windows, dan para produsen tersebut pun tidak sembarangan dalam meracik spesifikasi komputer mereka, mengingat reputasi mereka yang sudah mendunia.

...Bayangkan kalau para penyelenggara teknologi informasi harus melakukan pemasangan atau instalasi satu per satu, karena mamang sekarang ini tidak ada aplikasi open source yang terintegrasi ke dalam komputer PC. Memasang Linux di 8.000 komputer PC adalah pemborosan waktu yang percuma, bukan karena harga atau bisa diperoleh secara gratis...




Lagi-lagi suatu keberanian tersendiri untuk menyebut memasang Linux adalah pemborosan waktu yang percuma, karena bagi sebagian besar pengguna Linux, menginstalasi Linux adalah pengalaman yang menyenangkan :). Memang, memasang Linux di 8.000 PC satu per satu memang percuma, saya setuju dengan Mr X untuk satu hal ini. Namun menengok poin (3) di atas, bahwa banyak produsen PC yang menyediakan komputer OEM Linux siap pakai,jadi tidak benar bahwa tidak ada aplikasi open source yang terintegrasi ke dalam komputer PC. Entah apa yang dimaksud dengan pernyataan tersebut. Aplikasi Linux untuk PC (desktop) memang masih kalah banyak dari Windows, namun untuk jumlahnya cukup signifikan dan kualitasnya sudah mencukupi untuk penggunaan sehari-hari. Bagi yang pernah memakai Linux sebelum tahun 1999 pasti merasakan susahnya mencari aplikasi sehari-hari untuk Linux, namun sekarang keadaannya sudah jauh lebih baik. Tentang menginstalasi Linux, diakui bahwa belum semudah Windows, namun jika ditinjau lebih jauh menginstalasi Linux bisa lebih mudah dibandingkan Windows. Kita bisa menginstalasi Linux lewat jaringan (sekaligus update otomatis), atau bahkan menduplikasi sistem Linux yang sudah terinstalasi dapat dilakukan dengan mudah tanpa aplikasi tambahan (seperti Ghost atau DriveImage), cukup mengetikkan satu-dua baris perintah saja. Satu poin tambahan lagi, Windows dan aplikasinya belum menyediakan opsi berbahasa Indonesia (termasuk installernya, setidaknya sampai awal tahun depan), sedangkan bahasa Indonesia di Linux sudah tersedia sejak tahun 1998 (distro SuSE), dan sekarang sudah ada distro berbahasa Indonesia buatan Indonesia (Trustix MErdeka, WinBI, TrustCafe, Bijax, RimbaLinux, LinuxSehat).

...Sehingga, total biaya kepemilikan dan penggunaan teknologi informasi Pemilu 2004 bisa menjadi lebih mahal dari batas ambang dana yang tersedia. dan memang, teknologi informasi bukan hanya sekadar keandalannya saja, tapi juga pada keseluruhan mekanisme bisnis yang ditawarkan sebagai sebuah kesatuan...



Bagi penulis, ini bagaikan senjata makan tuan. Konsep TCO (Total Cost of Ownership) memang dijadikan isu untuk memojokkan Linux/open source yang dipandang susah untuk digunakan, tidak ada support, tidak punya masa depannya, dan pokoknya akhirnya mahal juga hitungannya. Well, apakah penggunaan Windows tidak menyisakan bom waktu berupa biaya upgrade? Klaim bahwa Linux susah untuk digunakan sangat tidak masuk akal, karena Linux bisa dikonfigurasi agar semudah Windows dan mudah atau tidak bergantung pada kebiasaan saja. Support untuk Linux sudah lama disediakan oleh perusahaan macam IBM, dan masa depan Linux sangat jelas, yaitu untuk menguasai dunia (!). Entah apa yang dimaksud dengan mekanisme bisnis sebagai sebuah kesatuan, apakah berkaitan dengan proses tender yang kurang transparan, yang memungkinkan tawar-menawar dan markup harga yang gila-gilaan?.

"...Perlu diingat, pemilu sebelumnya di Indonesia dan negara-negara lain tidak pernah memikirkan teknologi sebagai sebuah hambatan. Sehingga, jangan sampai Pemilu 2004 ini gagal, bukan karena pergelaran teknologinya, tapi pada para penyelenggaranya dan pengamatnya. Parah!...



Kali ini penulis harus setuju dengan Mr X dengan kata parahnya (tanda seru!) bahwa para penyelenggara dan pengamat (termasuk Mr X?) bisa menggagalkan Pemilu 2004 karena kurang mengerti tentang teknologi!.

Akhir kata, Penulis sebenarnya mengharapkan ada pengamat TI yang lebih kompeten untuk menanggapi artikel Mr X ini, karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman (di bisnis teknologi informasi!) dari Penulis sendiri. Masih banyak bias dan kekurangpahaman atas perangkat lunak open source/Linux ini bukan hanya di kalangan masyarakat awam, namun juga di kalangan para intelektual (pengamat dan pelaku bisnis TI) dan juga di kalangan pemerintahan dan para pengambil keputusan.

oleh Imam Indra Prayudi

No comments:

Post a Comment