Pertanyaan menarik!
Karena memang ada penelitiannya (disertasi dari Alm Pak Santosa dari ITS) kalau rumah peninggalan kolonial Belanda memang lebih sejuk/dingin bahkan daripada rumah tradisional Indonesia.
Hahh kok bisa?? Nenek moyang kita kan beratus-ratus tahun melakukan trial and error sampai menemukan desain arsitektur tradisional (vernakular) hingga terciptanya ratusan rumah adat khas masing-masing daerah? Kok masih bisa kalah sejuk dan nyamannya dengan bikinan Belanda yang baru juga numpang berapa tahun?
Jawabannya harus saya jabarkan sedikit nihh tentang fisika bangunan, eitss yang anti fisika fisika club jangan kabur dulu. Saya akan berusaha menjelaskan seramah mungkin.
Sejuk di sini, bisa dikatakan sebagai kenyamanan termal dalam Bahasa fisikanya. Nah, bagaimana cara mendapatkan kenyamanan termal?
Misalkan ada 3 rumah nih, satu rumah kolonial Belanda
Satu rumah Joglo misalnya, sebagai perwakilan rumah tradisional Indonesia
Satu lagi rumah biasa, (minimalis-wanna be) alias rumah kotak-kotak yang biasa kita lihat
Anggap ketiganya bersebelahan, otomatis punya faktor yang menentukan kenyamanan termal sama. Pertama air temperature, dimana suhu udara di luar seperti hari-hari biasa di Indonesia, sama-sama 30 derajat misalkan. Air velocity, dimana angin yang berhembus sama-sama dari Selatan, kencangnya juga sama-sama sekian m/s. Relative humidity, dimana kelembapan relatifnya sama-sama 70% karena sama-sama berada di iklim tropis yang lembab dengan udara yang berair. Dsb dsb, pokoknya faktor-faktor xnya sama semua lah.
Tapi kok… lebih adem di Joglo yah daripada di rumah biasa? Kok lebih adem di rumah Belanda ya daripada di Joglo? Padahal nih rumah berjejer tiga di jalan yang sama.
Jawabannya, karena ada Heat/thermal transfer. Panas yang berpindah.
Jadi, tubuh kita juga dan selalu mengeluarkan panas. Permasalahan di Indonesia adalah bagaimana cara membuang panas yang ada di tubuh?
Apalagi kalau level of activity orangnya tinggi, di rumah sambil ngegym, sambil marah-marah, sambil terbakar api cemburu misalnya. Semakin besarlah itu panas di tubuh. Bagaimana cara membuang panas ini untuk mencapai kenyamanan termal? Ya panasnya harus dipindah, ditransfer, alias thermal/heat transfer.
Nah masih ingat kan ya pelajaran zaman sekolah dulu perpindahan kalor/panas itu bisa secara konduksi, konveksi, dan radiasi? Dan dinding bangunan berpengaruh besar dalam hal perpindahan panas ini.
Kalau kita pegang dinding rumah… apakah rasanya hangat? Apakah rasanya dingin? Pasti di rumah Belanda cenderung lebih dingin daripada di rumah biasa dalam iklim yang sama. Yang jawab lebih dingin rumah biasa karena pake AC, sini bentar… ((Nawaitu gepuk raimu, bismilllah))
Lanjut, karena dinding bata di rumah Belanda biasanya disusun bata 1 dan dinding inilah menyerap panas yang kita keluarkan. Si panas, berpindah dari tubuh kita ke dinding jadi kita bisa merasa lebih sejuk.
Oh ya si panas ini bukan hanya berpindah saat kita pegang-pegang dinding ya. Kan panas juga berpindah lewat konveksi dan radiasi. Tanpa kita grepe-grepe dinding buat transfer panas, dia sudah tertransfer sendiri. Wong panas dari matahari tau-tau bisa nyampe ke dinding rumahmu kok.
Beda lagi kalau di rumah biasa yang biasanya disusun bata setengah, yang ada panas dari dinding yang berpindah ke tubuh kita alias kita yang nyerapin panas si dinding, makanya badan yang udah panas malah jadi lebih... hareudang hareudang hareudang, panas panas panaaaas.
Nah gimana kalau rumah tradisional? Material yang biasa digunakan kan kayu atau bambu di mana mereka itu tidak punya massa termal. Kemampuan menyerap, menyimpan, dan melepaskan energi panas untuk kayu dan bambu hampir nihil. Jadi kalau di luar lagi terik-teriknya sampai puanas puol, dinding kayu tidak akan berkontribusi dalam membantu menyerap panas.
Nih saya bikinkan bentar ilustrasinya..
Si tante macan kuning ini, cenderung akan merasa lebih sejuk di Rumah Kolonial Belanda dgn penyusunan bata satu (zoom untuk melihat perbedaan) dibandingkan rumah dengan 2 jenis dinding lainnya.
Dan ini juga berlaku ke elemen material bangunan lain, termasuk perbedaan ketiga atap bangunan tersebut. Pernah kan merasa seperti “terpanggang” di bawah atap seng atau spandek? Nah itu tuh, material seng dengan lucknutnya dia mentransfer panasnya ke badan kita. Harusnya yah, sebagaimana fungsinya sebagai pelindung, atap kan melindungi ya termasuk dari cuaca. Tapi malah kita dibikin keringetan, memang material ngga sopan.
Iya juga yaah? Tapi kayaknya lebih sejuk di rumah tradisional deh daripada rumah biasa?
Iyaa, bener kok. Kan ada faktor lain, bukan hanya heat transfer. Air velocity alias angin semriwing semriwing juga bisa dimanfaatkan membantu kesejukan. Bangunan Belanda dan bangunan tradisional, rata-rata punya cross ventilation yang bagus. Angin diberikan jalan masuk dan keluar, jadi berasa lebih adem tuh rumah sepoi-sepoi karena dilalui angin.
Bangunan Belanda, rata-rata punya jendela besar-besar. Dan kalaupun jendelanya ditutup, angin tidak terblok 100% karena jendela rumah Belanda rata-rata punya celah seperti gambar di bawah. Bangunan tradisional, tanpa jendela pun sudah punya banyak celah di dindingnya yang dari kayu atau bambu itu untuk jalan angin.
Nah kalau di rumah biasa? Kadang tidak punya cross ventilation, atau salah meletakkan jendela. Angin yang mau masuk rumah terblok kejedot dinding. Ada jendela? Ada, tapi jendela kaca yang kalau ditutup ngga ngaruh apa-apa karena angin tidak bisa menembus kaca ya bunda, yang bisa masuk cuma panas dan cahaya matahari saja. Cahayanya okelah, kalau panasnya? Hmm. Makanya kebanyakan orang sudah menyerah dengan metode-metode passive cooling ini dan yasudalah, jejer dah jejer tuh AC di rumah.
Sedangkan faktor-faktor lainnya seperti ceiling yang tinggi, dll sebenarnya ada juga tapi kalau ditarik lebih jauh sebenarnya ya masih nyambung dengan si perpindahan panas di poin pertama tadi.
Semoga menjawab^^